AJI Nilai Pelaporan Narasumber Project Multatuli Bentuk Kriminalisasi
LBH Makassar: Salah Alamat
AJI Makassar dan LBH Makassar menilai laporan S terhadap narasumber salah satu pemberitaan Project Multatuli ke Polisi bentuk kriminalisasi.
MAKASSAR, BERANDANEWS.NET — Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar menilai langkah S melaporkan narasumber Project Multatuli merupakan bentuk kriminalisasi. Dampaknya, akan menjadi preseden buruk kebebasan pers dan kebebasan berpendapat.
Pelapor S, melaporkan ibu korban dugaan pemerkosaan di Luwu Timur yang menjadi narasumber berita berjudul “Tiga Anak Saya Diperkosa, Saya Lapor ke Polisi, Polisi Menghentikan Penyelidikan.”
“Laporan tersebut merupakan ancaman kriminalisasi pada narasumber sebuah berita. Jika kriminalisasi narasumber terus-menerus terjadi, maka hal ini akan menimbulkan chilling effect,” kata Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Makassar, Nurdin Amir melalui keterangan tertulis bersama LBH Makassar.
Menurut dia, efek kriminalisasi tersebut berdampak terhadap hak masyarakat mendapatkan informasi. Sebab, narasumber menjadi takut berbicara di media dan kemudian informasi publik menjadi terabaikan.
“Pelaporan narasumber Project Multatuli tidak tepat, dan menjadi ancaman serius bagi kebebasan pers. Ketika narasumber menjadi sasaran pidana, artinya membunuh pers itu sendiri. Pelaporan ini adalah serangan terhadap kebebasan pers dan demokrasi,” kata Nurdin.
Nurdin kemudian menjelaskan, payung hukum UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers yang mengatur soal pers memang hadir untuk melindungi kebebasan pers. Sebab, kebebasan pers merupakan bagian dari kebebasan berpendapat yang tertuang dalam Undang-undang Dasar pasal 28E.
“Payung hukum pers untuk melindungi narasumber merupakan poin penting. Pasalnya, narasumber dan pers merupakan hal yang tidak bisa terppisahkan. Kriminalisasi terhadap narasumber adalah serangan kepada pers, serangan terhadap kebebasan berpendapat,” tutur Nurdin.
Selesaikan Melalui Dewan Pers
Kata dia lagi, jika narasumber Project Multatuli berlanjut di ranah kepolisian dan tidak menjadikan sebagai sengketa pers, akan menjadi preseden buruk bagi kebebasan pers di Indonesia.
“Kami mendesak pihak penyidik kepolisian Dit Reskrimsus Polda Sulsel tidak semestinya menerima laporan sengketa pemberitaan yang menjadi ranah Dewan Pers. Kasus ini tidak bisa kita biarkan, karena akan berdampak kepada narasumber lain untuk hati-hati atau membatasi bicara kepada media. Jika narasumber tidak mau menerima wawancara akan mengancam kerja-kerja jurnalisme,” tegasnya.
Sementara itu, Advokat Publik YLBHI-LBH Makassar, Abdul Azis Dumpa menilai pelaporan narasumber ke polisi itu salah alamat. Sebab, yang di laporkan adalah produk jurnalistik yang di lindungi UU No.40 Tahun 1999 Tentang Pers.
Menurut Azis, jika keberatan terhadap produk jurnalistik, maka harus menempuh langkah-langkah melalui permintaan hak jawab. Atau hak koreksi, atau penyelesaian lewat mekanisme di Dewan Pers.
“Pelaporan narasumber dan penyelesaian sengketa pers harus ke Dewan Pers, bukan ke pidana,” kata Azis Dumpa.
Azis menegaskan, pihak kepolisian yang menerima laporan harus mengarahkan pelapor untuk melakukan Langkah-langkah itu. Hal itu tertuang dalam Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Polri Nomor 02/DP/MoU/II/2017 Tentang Koordinasi dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers dan Penegakan Hukum terkait Penyalahgunaan Profesi Wartawan.
“Dalam nota kesepahaman antara pihak Polri dan Dewan Pers di pasal 4 menegaskan pihak kepolisian harus mengarahkan pelaporan ke polisi melalui Dewan Pers terlebih dahulu,” kata Azis.
Dalam undang-undang pers, kata Azis, narasumber justru harus mendapat perlindungan. Hal tersebut terlihat pada keberadaan hak tolak di media. (#)